Beranda | Artikel
Penjelasan Empat Kaidah Pokok (6)
Selasa, 22 Desember 2015

Bagian 3.

Makna dan Hakikat Ibadah

Penulis rahimahullah berkata, “Apabila anda telah mengetahui bahwa Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah dinamakan ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid….”

Penjelasan Para Ulama :

Syaikh al-Fauzan hafizhahullah berkata, “… Dan tidaklah Dia (Allah) butuh kepada ibadahmu. Seandainya kamu kafir kamu tidaklah mengurangi kekuasaan Allah. Akan tetapi kamulah yang membutuhkan-Nya. Kamu yang membutuhkan ibadah. Maka diantara bentuk kasih sayang-Nya Allah pun memerintahkan kamu untuk beribadah kepada-Nya demi kemaslahatan dirimu sendiri. Karena jika kamu beribadah kepada-Nya sesungguhnya Dia subhanahu wa ta’ala akan memuliakan dirimu dengan balasan dan pahala…” (lihat Syarh Syaikh al-Fauzan, hal. 15-16)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang insan selalu membutuhkan Allah ‘azza wa jalla dalam bentuk ibadah dan isti’anah/permintaan pertolongan. Adapun kebutuhan dirinya kepada Allah dalam bentuk ibadah, karena sesungguhnya ibadah itulah bahan baku/sumber kebahagiaan dirinya. Adapun isti’anah, karena sesungguhnya apabila Allah tidak memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya, maka Allah akan menyandarkan dia/urusannya kepada dirinya sendiri. Sehingga itu artinya Allah menyerahkan dirinya kepada sifat ketidakmampuan, kelemahan, dan aurat/aib. Sementara tidak mungkin tegak urusan seorang insan melainkan dengan bantuan dan pertolongan dari Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ahkam min al-Qur’an al-Karim, hal. 22-23)

Syaikh Raslan hafizhahullah berkata, “Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang lahir maupun yang batin. Sebagaimana didefinisikan oleh Syaikhul Islam -Ibnu Taimiyah- rahimahullah.” (lihat Syarh Syaikh Raslan, hal. 10)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku- adalah agar mereka mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan ungkapan lain ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar mereka mentauhidkan Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah satu (tidak bisa dipisahkan, pent).” (lihat I’anat al-Mustafid [1/33])

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)

Imam al-Baghawi rahimahullah menukil ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Setiap istilah ibadah yang disebutkan di dalam al-Qur’an maka maknanya adalah tauhid.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 20)

Syaikh Shalih alu Syaikh hafizhahullah berkata, “… Sesungguhnya ibadah tidaklah diterima tanpa tauhid. Hal itu diserupakan dengan thaharah/bersuci untuk mengerjakan sholat. Karena tauhid merupakan syarat diterimanya ibadah; yaitu ibadah harus ikhlas. Adapun thaharah adalah syarat sah sholat. Maka sebagaimana halnya tidak sah sholat tanpa thaharah/bersuci, maka demikian pula tidaklah sah ibadah siapa pun kecuali apabila dia termasuk orang yang bertauhid…” (lihat Syarh Syaikh Shalih alu Syaikh, hal. 8)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)

Syaikh Abdullah bin Shalih al-‘Ubailan hafizhahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa tauhid dan mengikuti hawa nafsu adalah dua hal yang bertentangan. Hawa nafsu itu adalah berhala, dan setiap hamba memiliki ‘berhala’ di dalam hatinya sesuai dengan kadar hawa nafsunya. Sesungguhnya Allah mengutus para rasul-Nya dalam rangka menghancurkan berhala dan supaya -manusia- beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Bukanlah maksud Allah subhanahu adalah hancurnya berhala secara fisik sementara ‘berhala’ di dalam hati dibiarkan. Akan tetapi yang dimaksud ialah menghancurkannya mulai dari dalam hati, bahkan inilah yang paling pertama tercakup.” (lihat Al-Ishbah fi Bayani Manhajis Salaf fi At-Tarbiyah wa Al-Ishlah, hal. 41)

Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Syirik adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba. Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa inabah/mengembalikan urusan kepada selain Allah jalla wa ‘ala. Atau berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya’. Ini semuanya tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang lainnya…” (lihat Syarh Syaikh Shalih as-Suhaimi, hal. 6)

images

Hakikat Ibadah dalam Timbangan Syari’at

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Ibadah adalah kecintaan dan tundukan secara total, disertai kesempurnaan rasa takut dan perendahan diri.” (lihat Tafsir al-Fatihah, hal. 49 tahqiq Dr. Fahd ar-Rumi)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ibadah merupakan sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang batin maupun lahir. Ini artinya sholat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berbicara, menunaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang mungkar, berjihad memerangi orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, maupun kepemilikan dari kalangan manusia (budak) atau binatang piaraan, berdoa, berdzikir, membaca al-Qur’an, dan lain sebagainya itu semua adalah ibadah. Demikian juga kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, rasa takut kepada Allah, inabah kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, bersabar menghadapi ketetapan-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, ridha dengan takdir-Nya, bertawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya, dan semisalnya [itu semua juga] termasuk ibadah kepada Allah.” (lihat al-‘Ubudiyah, hal. 6 cet. Maktabah al-Balagh)

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan, “Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa ibadah adalah melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tercakup di dalamnya menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhkan diri dari berbagai hal yang diharamkan. Melakukan hal-hal yang wajib dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan; yaitu dengan melakukan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang bersifat batin maupun lahir. Meninggalkan hal-hal yang diharamkan, berupa ucapan maupun perbuatan, yang batin maupun yang lahir.” (lihat Syarh al-‘Ubudiyah, hal. 5)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibadah mencakup melakukan segala hal yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala hal yang dilarang Allah. Sebab jika seseorang tidak memiliki sifat seperti itu berarti dia bukanlah seorang ‘abid/hamba. Seandainya seorang tidak melakukan apa yang diperintahkan, maka orang itu bukanlah hamba yang sejati. Seandainya seorang tidak meninggalkan apa yang dilarang, maka orang itu juga bukan hamba yang sejati. Seorang hamba -yang sejati- adalah yang menyesuaikan dirinya dengan apa yang dikehendaki Allah secara syar’i.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz ‘Amma, hal. 15)

57959

Pokok Ibadah dan Penggerak Amalan

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakekat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada ruhnya sama sekali…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Maktabah al-‘Ilmu)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan menggapai kebahagiaan dan kemenangan.” (lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan amalan hati lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apakah yang membedakan antara mukmin dengan munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menegaskan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat itu menduduki peranan seperti halnya ruh, sedangkan amalan itu laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad, maka jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati itu lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)  


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/penjelasan-empat-kaidah-pokok-6/